Nisfu Sya'ban: Cara lain menentukan Awal Ramadhan

Dalam tradisi ada yang disebut Nisfu Sya'ban, "separuh Sya'ban" atau juga pertengahannya yaitu hari kelima belas Sya'ban bulan kedelapan, yang sesudah 15 hari kemudiannya pasti berlaku tanggal satu Ramadhan. Dalam susunan kalender yang berdasarkan orbit Bulan senantiasa Sya'ban memiliki 30 hari. Hal ini telah kita catatkan seperlunya. tampak penanggalan Ramadhan saja yang mempunyai jumlah hari berbeda, 29 pada tahun biasa dan 30 pada tahun kabisat.

Dengan pengetahuan tradisional demikian, mungkin juga sudah berlaku semenjak zaman Nabi Ibrahim atau juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad, maka setengah orang ada yang sengaja keluar rumah sewaktu maghrib pada tanggal 15 Sya'ban untuk memperhatikan status Bulan yang tampak terbit di ufuk timur. Sekiranya Bulan terbit sebelum Surya terbenam di ufuk barat maka malam itu dan siang besoknya adalah tanggal 14 bulan itu. Tetapi ingatlah bahwa kejadian ini hanya wajar dan pernah jadi tradisi bagi penduduk daerah Torrid Zone atau di daerah panas sekitar Ekuator. Tetapi ketika terbukti bahwa Bulan tampak terbit di ufuk timur sesudah Surya selesai terbenam di barat, maka malam itu dan siang besoknya adalah tanggal 15 Sya'ban dan 16 malam kemudian tentulah malam tanggal 1 Ramadhan. Itulah Rukyah wajar dan logis jika orang tidak memiliki kalender Qamariah jangka panjang.

Melihat atau Rukyah Bulan pada tanggal 15 Sya'ban wajar sekali dilaksanakan di semua tempat kediaman pada daerah Ekuator keliling Bumi untuk menentukan tanggal 1 Ramadhan 16 hari berikutnya, dan dapat dilakukan di sembarang keadaan cuaca kecuali jika angkasa diliputi mendung tebal. Kiranya hal inilah yang patut dilakukan masyarakat Islam setiap tahun pada Nisfu Sya'ban, mereka tidak memerlukan biaya juga pejabat resmi, dan tidak pula usaha susah payah seperti yang dibutuhkan bagi Rukyah Hilal Bulan pada awal bulan Ramadhan. Walaupun Rukyah Nisfu Sya'ban tidak sesungguhnya tepat seluruhnya menurut perhitungan kalender tetapi halnya lebih benar dibanding dengan Rukyah Hilal.



Kelemahan bagi pelaksana Rukyah Hilal antara lain ialah sebagai berikut:

1. Berbagai catatan memberikan data bahwa pada waktu permulaan bulan Qamariah atau setiap tanggal pertamanya, posisi Bulan selalu berdekatan dengan Surya. Jika waktu itu berlaku gerhana Surya, maka gerhana itu berlangsung selama 6 jam, sementara Ijtimak atau gerhana penuh hanyalah selama 7 menit; dan Bulan bergerak terus tampak di angkasa dalam 1 hari atau 24 jam sejauh 11˚ 12' dari orbitnya keliling Bumi.
Sekiranya ijtimak Bulan dan Surya berlaku hari Rabu pada jam antara 18.00 sampai 06.00 besoknya atau selama 12 jam malam itu menurut Standard Time di Jawa, maka sesudah ijtimak tersebut harus dicatat tanggal 1 bulan baru. Dan semisalnya hari itu awal Ramadhan, tentulah wajib puasa harus terlaksana, tetapi Rukyah Hilal tidak kelihatan hingga penduduk-penduduk Jawa tidak berpuasa pada hari Kamis tanggal 1 Ramadhan itu.

2. Sesuai dengan hukum alam yang berlaku bahwa daerah yang tepat ditantang Surya berudara panas dan mungkin berdebu, karenanya angkasa barat sewaktu manghrib tampak berkabut yang menghalangi pandangan untuk membuktikan adanya Hilal Bulan bagi penanggalan bulan baru. Demikian pula untuk menentukan hari pertama bulan Ramadhan berdasarkan Rukyah hilal yang tentunya sangat tipis halus, setipis kertas kuning. Sia-sialah mereka yang benar-benar hendak melihat Hilal terse?but untuk ibadah puasa Ramadhan besoknya.

3. Angkasa yang dekat sekali pada keliling bulatan Surya dinamakan orang dengan Corona yang dalam Alquran disebut Zamharir pada Ayat 76/13, keduanya, baik bulatan Surya maupun Corona itu menyilaukan mata kalau kebetulan dapat dilihat sewaktu cuaca baik. Jadi Hilal pada awal malam tanggal pertama Ramadhan begitu pun bulan lainnya tentu saja tidak mungkin dilihat karena wujudnya baru berupa garis melingkar setipis kertas, karena jauhnya, dan dia berada dalam daerah Corona yang menyilaukan. Sekiranya orang masih dapat melihat Hilal itu, atau mengatakan telah melihatnya, tentulah yang dilihat orang itu Hilal malam kedua dari Ramadhan sejauh 12 derajat lebih dari Surya.

Dengan kelemahan atau tepatnya usaha yang tidak wajar itu, maka benarlah Alquran dengan ketentuan tercantum pada Ayat 2/185 bahwa siapa yang dengan perhitungannya mengenai penanggalan Qamariah dapat menentukan suatu hari adalah tanggal pertama bulan Ramadhan, lalu dia harus menyatakannya kepada masyarakat ramai dan berpuasa siang hari bersama-sama selama 29 at au 30 hari.
Tentang ini berlakulah apa yang dimaksud ALLAH pada Ayat:

2/159. Orang-orang yang menyembunyikan apa yang KAMI turunkan dari keterangan serta
petunjuk sesudah KAMI terangkan dia dalam Kitab untuk manusia, itulah orang-orang
yang ALLAH kutuki dan mengutukinya semua yang mengutuk.





Terjemahan keliru:

2/185. -------------------
Barang siapa di antara kamu menjalani bulan itu hendaklah berpuasa selama itu?..

2/185. -------------------
Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
hendaklah dia berpuasa pada bulan itu.


Terjemahan wajar:

2/185. ... ................
Siapa yang membuktikan dari kamu bulan itu, hendaklah mempuasakannya
.


Walaupun pada ketiga terjemahan itu terdapat perbedaan yang banyak, namun yang diperbincangkan di sini hanyalah mengenai terjemahan istilah SYAHIDA dan SYAHRA. Kedua macam istilah itu banyak ditemui dalam Alquran, SYAHIDA tercantum pada Ayat 2/185, 3/18, 3/86, 4/15, 6/19, 6/130, 6/150, 7/37, 12/26, 12/81, 21/61, 24/2, 24/8, 24/24, 27/32, 41/20, 43/19, 43/86, 46/10, 59/11, dan 65/2. Semuanya berarti "membuktikan" dan tidak satu juga yang diartikan dengan "menjalani" atau "hadir". Bagaimana pula cara menterjemahkan dua kalimat syahadah jika SYAHIDA diartikan dengan itu hingga berupa "Aku menjalani (hadir) bahwa tiada Tuhan selain ALLAH." Jadi SYAHIDA haruslah diartikan dengan MEMBUKTIKAN yaitu pengakuan ilmiah bahwa Tuhan hanya ALLAH dan Muhammad Rasul-NYA sekali pun tidak pernah melihatnya.

Sejauh ini kita belum sampai pada sasaran tentang sebab-musabab adanya masyarakat yang melihat Hilal Ramadhan agar besoknya mulai berpuasa wajib. Mungkin ada orang yang memahami Ayat 2/185 tadi dengan "Siapa yang melihat dari kamu Bulan itu hendaklah mempuasakannya." Hal ini pun bersalahan dengan maksud Ayat Suci sebenarnya, karena yang dapat dilihat ialah MOON atau BULAN yang mengorbit di angkasa, dalam Alquran disebut dengan QAMAR, sedangkan yang tercantum pada Ayat 2/185 ialah istilah SYAHRA berarti "bulan" penanggalan yang tidak dapat dilihat dengan mata karena dia hanyalah nama dari sejumlah hari berkelompok jadi satu bagian dari duabelas bagian lainnya dalam setahun. Istilah SYAHRU dapat dibaca pada Ayat 2/185, 4/92, 9/36, 34/12, dan 46/15.

Jadi, yang dimaksud pada Ayat 2/185 bukanlah melihat Bulan atau Hilalnya di ufuk barat waktu maghrib, tetapi mengetahui bulan penanggalan Ramadhan dan dapat membuktikan dengan perhitungannya,langsung menyatakan kepada masyarakat melalui berbagai media, lalu memulai ibadah puasa Ramadhan pada hari tanggal pertama dari bulan itu.
Baca Juga Artikel Lainnya :


0 komentar:

Posting Komentar